JAKARTA, HUMAS MKRI – Beragam materi disampaikan para narasumber secara virtual pada hari kedua Bimbingan Teknis Hukum Acara Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020 bagi Forum Pengacara Konstitusi yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (4/11/2020). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi secara daring (online) dan luring (offline).

Wakil Ketua MK Aswanto dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memaparkan materi “Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Serentak Tahun 2020”. Aswanto menjelaskan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 6 Tahun 2020 sebagai PMK terbaru untuk penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020. “PMK No. 6 Tahun 2020 berbeda dengan PMK sebelumnya. Adanya PMK No. 6 Tahun 2020 sebagai perbaikan dan penyempurnaan dari PMK sebelumnya, diharapkan Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak tidak lagi mengalami kesalahan yang teknis,” ujar Aswanto kepada para peserta bimtek.

Penyempurnaan PMK No. 6 Tahun 2020, lanjut Aswanto, antara lain mengenai kewenangan mengakreditasi pemantau pemilu dilakukan oleh KPU, sebagaimana diatur dalam Pasal 124 UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada). Sebelumnya, PMK No. 5 Tahun 2020 mengatur kewenangan mengakreditasi pemantau pemilu dilakukan oleh Bawaslu. Selain itu Aswanto menyinggung soal penggunaan Pasal 158 UU Pilkada. Pengalaman sebelumnya dari para pengacara yang berperkara dalam sidang penanganan perselisihan hasil pilkada seringkali memaknai satu norma sesuai dengan posisinya.

“Ketika dia di posisi Pemohon, dia meminta supaya Pasal 158 tidak dipakai. Kalau dia di posisi Termohon, dia meminta supaya Pasal 158 (UU Pilkada) tetap digunakan. Hal yang mendorong Mahkamah untuk melakukan penyempurnaan-penyempurnaan, sehingga yang berkaitan dengan norma dalam undang-undang mestinya kita sudah satu bahasa. Ada pemikiran, yang diatur dalam Pasal 158 berkaitan dengan pokok perkara. Penentuan persentase terkait dengan perolehan suara. Selisih 2%, 1,5%, 1% dan 0,5% itu akan perolehan suara,” tegas Aswanto.

Itulah sebabnya, kata Aswanto, dalam PMK No. 6 Tahun 2020, Mahkamah tetap konsisten menggunakan Pasal 158 UU Pilkada. “Tetapi karena Mahkamah berpikir bahwa Pasal 158 (UU Pilkada) sudah mengatur substansi perkara, sehingga kemungkinan apakah memenuhi persyaratan untuk dimajukan atau tidak dimajukan sebagai sengketa, tidak seperti pada penanganan-penanganan sengketa pilkada sebelumnya. Karena sebelumnya, sengketa pilkada diselesaikan di awal. Dalam PMK yang baru ini, kecenderungan penyelesaian Pasal 158 (UU Pilkada) pada akhir perkara. Artinya, Pasal 158 tetap kita patuhi, tetapi kita harus menggali dulu informasi, mencari bukti-bukti, memperoleh keterangan apakah angka yang ditentukan KPU berdasarkan Pasal 158 (UU Pilkada) itu memang ditentukan sesuai dengan yang sebenarnya. Kalau kita tidak mendengarkan keterangan para pihak, langsung menentukan Pasal 158 (UU Pilkada) sebagaimana ditentukan KPU, sebenarnya kita sudah parsial kepada salah satu pihak. Posisi Pemohon, Pihak Terkait berada pada kondisi yang sama. Namun tujuannya untuk mencari kebenaran substantif, bukan sekadar kebenaran formil,” tegas Aswanto.

Memahami UU Pilkada

Sementara Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih berharap kepada para peserta bimtek agar benar-benar memahami UU Pilkada, PMK terkait Hukum Acara MK baik teknis maupun mengaplikasikannya agar tidak terjadi kegagapan saat menjalani sidang perselisihan hasil pilkada, permohonan tidak jelas dan kabur, dan sebagainya. “Terkait perselisihan hasil pilkada, inti persoalannya adalah keputusan KPU termasuk KIP yang terkait dengan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh penyelenggara pemilihan tersebut. Intinya di situ. Ini penting karena nantinya akan menyangkut ke petitumnya, yang ini dipersoalkan peserta pemilihan dalam hal ini pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota. Ini yang saya katakan penting. Karena sejatinya obyek perselisihan hasil pilkada adalah keputusan KPU atau KIP,” ungkap Enny.

Enny juga menjelaskan para pihak dalam proses pengajuan permohonan perselisihan hasil pilkada yakni Pemohon selaku pasangan calon kepala daerah, atau bisa juga Pemohonnya adalah pemantau pemilihan kalau pasangan calonnya tunggal. Selain itu ada Pihak Termohon sebagai pihak yang menetapkan putusan perolehan suara hasil pilkada yakni KPU atau KIP.  Selanjutnya ada Pemberi Keterangan yaitu Bawaslu. Setelah itu ada Pihak Terkait selaku pasangan calon kepala daerah yang bisa jadi terusik terhadap penetapan putusan KPU setelah Pemohon mengajukan gugatan karena dikalahkan. Pihak Terkait pun bisa jadi pemantau pemilihan.

“Kelazimannya, Pihak Pemohon, Pihak Termohon dan Pihak Terkait hampir jarang maju sendiri, namun diwakili oleh kuasa hukumnya. Oleh karena surat kuasanya penting sekali yang ditanda tangani oleh yang memberi kuasa dan yang menerima kuasa. Jangan sekali-sekali tanda tangan dipalsukan. Harus asli tanda tangan sendiri, bukan tanda tangan pihak lain,” ucap Enny.

Dikatakan Enny, permohonan diajukan paling lambat tiga  hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh Termohon. Permohonan Pemohon sekurang-kurangnya terdiri atas permohonan, fotokopi Surat Keputusan Termohon tentang Penetapan sebagai Pasangan Calon atau akreditasi dari KPU/KIP bagi pemantau pemilihan, fotokopi KTP atau Identitas Pemohon,  fotokopi kartu tanda anggota bagi advokat sebagai kuasa hukum. Permohonan melalui luring maupun daring hanya dapat diajukan satu kali selama tenggang waktu pengajuan permohonan.

Sejarah MK

Berikutnya, Kepala Bagian Humas dan KSDN MK Fajar Laksono Soeroso menguraikan perspektif kesejarahan Mahkamah Konstitusi. “Dalam pandangan saya, kalau kita bicara mengenai perspektif  kesejarahan Mahkamah Konstitusi, saya memsimplikasikan ada empat tonggak kesejarahan yang bisa kita tempatkan dalam posisinya masing-masing terkait dengan posisi Mahkamah Konstitusi hari ini,” kata Fajar.

Fajar menuturkan tonggak kesejarahan Mahkamah Konstitusi melalui satu putusan besar Kasus Marbury vs Madison (1803) di Amerika Serikat. “Sebagai tonggak kesejarahan pertama kali gagasan constitutional judicial review yang berarti judicial review dilakukan oleh pengadilan dan batu ujinya adalah Konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi dalam konteks kita bernegara,” jelas Fajar yang menyajikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaran RI”.

Fajar melanjutkan kasus Marbury vs Madison bermula dari perkara “The Midnight Judges” sebagai perkara pengangkatan pejabat-pejabat penting di larut malam, saat momentum Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 1800. John Adams sebagai petahana ditantang oleh Thomas Jefferson sebagai kandidat Presiden. Ternyata sang petahana kalah dalam pemilihan Presiden. Di antara waktu rentang kekalahan itu, sebelum Jefferson mengucapkan sumpah sebagai Presiden, John Adams mengangkat kolega-koleganya untuk menjadi pejabat penting di Amerika Serikat. “Hal itu dilakukan saat larut malam sebelum esoknya pergantian Presiden. Salah seorang yang diangkat adalah William Marbury. Juga James Madison yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung. Pada larut malam itu John Adams menandatangani SK Pengangkatan para koleganya. Termasuk pengangkatan hakim-hakim,” urai Fajar.

Singkat cerita, tutur Fajar, SK Pengangkatan para kolega John Adams ternyata masih ada di ruangan John Adams saat dia tidak lagi menjadi Presiden. Kemudian Thomas Jefferson menemukan SK Pengangkatan tersebut, namun dia memerintahkan James Madison untuk menahan SK Pengangkatan itu. Salah seorang yang diangkat oleh John Adams, William Marbury protes kepada Presiden Thomas Jefferson agar memberikan surat pengangkatan kepadanya. Alasannya, karena Marbury dan yang lain harus mulai bekerja berdasarkan SK Pengangkatan dan sudah disetujui Kongres. Namun Jefferson tetap tidak mau memberikan SK Pengangkatan, diduga Jefferson ingin membatalkan SK Pengangkatan itu dan kemungkinan akan mengangkat para koleganya.

Akhirnya Marbury menggugat kasus itu ke Mahkamah Agung. Intinya meminta Mahkamah Agung Amerika Serikat yang dipimpin John Marshall agar Presiden Thomas Jefferson menyerahkan SK Pengangkatan Marbury dan lainnya kepada adresat-adresat SK Pengangkatan tersebut. Walhasil, Mahkamah Agung memang berwenang mengadili perkara itu. Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung memutuskan Marbury dkk punya hak mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung. Dalam putusannya, Mahkamah Agung justru mengatakan bahwa ketentuan dalam judiciary act. bahwa Mahkamah Agung bisa memerintahkan pemerintah melakukan suatu tindakan tertentu, justru bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Mahkamah Agung menyatakan inkonstitusional ketentuan tersebut. “Kala itu gegerlah dunia hukum Amerika Serikat. Ada pro dan kontra terhadap masalah itu. Di situlah kemudian kita  mengenal adanya gagasan constitusional judicial review. Jadi ada norma undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat kemudian bisa dibatalkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat,” tegas Fajar.

Lebih lanjut Fajar juga menerangkan kedudukan MK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia karena ada perubahan yang signifikan dari UUD 1945, bahwa MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara namun kedudukannya setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti MK, Presiden, Mahkamah Agung (MA) dan lainnnya. Fajar juga menjelaskan kewenangan MK yang bersifat limitatif konstitusional, artinya kewenangan MK diberikan langsung oleh UUD 1945. Termasuk MK dititipi kewenangan untuk memutus perselisihan hasil pilkada. Hal lainnya, Fajar menyinggung Konstitusi Indonesia sampai saat ini masih menganut dualisme judial review. Pengujian undang-undang tidak hanya di MK tetapi juga menjadi kewenangan MA. Selain itu Fajar menjelaskan komposisi Hakim Konstitusi. “Karena belakangan ini ada beberapa pernyataan di media sosial soal MK. Misalnya kalau Hakim MK diajukan oleh Presiden dan DPR, padahal undang-undang dibuat oleh Presiden bersama DPR, tentu ini menjadi persoalan,” ujar Fajar. Terakhir, Fajar menerangkan Hukum Acara MK, terutama kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD sebagai fitrah dari MK.

Tahapan PHP Kada

na cara menyusun permohonan jika nanti Bapak dan Ibu diberikan kuasa oleh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati maupun walikota dan wakil walikota untuk mewakili mereka beracara di MK, baik sebagai Pemohon maupun Pihak Terkait. Di sini kita akan sharing bagaimana idealnya penyusunan permohonan Pemohon atau bagaimana idealnya penyusunan jawaban Pihak Terkait,” kata Syaiful.

Pada kesempatan itu, Syaiful menjelaskan sistematika permohonan Pemohon meliputi identitas Pemohon sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon  bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota atau pemantau pemilihan. Permohoan juga mencakup Kewenangan Mahkamah Konstitusi, menjelaskan objek dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan yakni Keputusan Termohon mengenai Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur/Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon terpilih. Selain itu menjelaskan kedudukan hukum Pemohon. Misalnya,  Pemohon menjelaskan ketentuan pengajuan permohonan berdasarkan Pasal 158 UU Pilkada. Juga tenggang waktu pengajuan permohonan.

“Sesuai dengan ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada juncto Pasal 7 ayat (2) PMK 5/2020, antara lain permohonan diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh Termohon. Terakhir, dalam permohonan harus ada alasan permohonan dan petitum,” terang Syaiful.

Sedangkan sistematika penyusunan keterangan Pihak Terkait, antara lain memuat nama dan alamat Pihak Terkait dan/atau kuasa hukum serta alamat surat elektronik (e-mail, nomor Induk Kependudukan (NIK) sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun nomor kartu tanda anggota bagi advokat sebagai kuasa hukum, juga  penjelasan bahwa Pihak Terkait adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil Bupati, atau walikota dan wakil walikota atau pemantau pemilihan, serta memuat tanggapan Pihak Terkait terhadap Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum Pemohon, tenggang waktu pengajuan permohonan serta alasan-alasan permohonan Pemohon. Kemudian dalam petitum memuat Keputusan Termohon tentang penetapan perolehan suara hasil pemilihan.

Bimtek untuk para advokat ini diselenggarakan selama tiga hari, yakni pada Selasa – Kamis (3 – 5/10/2020). Para peserta diberikan materi mengenai hukum acara perkara perselisihan hasil kepala daerah yang disampaikan oleh hakim konstitusi, panitera muda, peneliti, panitera pengganti, dan staf IT. (*)

Penulis: Nano Tresna Arfana

Editor: Lulu Anjarsari

Spread the love

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *